Ditulis oleh : Meyriana Kesuma (PN-IAP), Mochamad
Yusuf (IAP Jawa Timur), Maulita Dwasti (IAP Jawa Barat)
Jumat 30 Mei, International
Federation for Housing and Planning (IFHP) menghelat konferensi kedua mereka
tahun ini di Singapura dengan tema ‘
Good
Urban Governance in Integrated Planning: The Key to Success?’.
Bukan tanpa alasan organisasi
internasional tersebut memilih Singapura sebagai tempat dilangsungkannya konferensi
ini. Singapura dianggap sebagai salah satu negara yang telah berhasil
mengimplementasikan Integrated Planning
dengan struktur tata kelola yang yang baik dalam mendukung proses
perencanaannya. Tentu saja tidak hanya Singapura yang boleh berbangga dengan
keberhasilan pembangunan yang telah dicapainya, berbagai pengalaman pembangunan
dan project skala internasional dari
berbagai negara dibagi dan didiskusikan dalam konferensi ini dengan harapan
bisa memberi inspirasi kalangan praktisi perencanaan yang hadir dalam
mengidentifikasi dan mengatasi permasalahan terkait tata kelola dalam
perencanaan tata ruang.
Diawali dengan keynote speech dari CEO of Housing and Development Board Singapura, Cheong Koon Hean diceritakan
bagaimana tata kelola yang baik telah
berhasil membuat arah pembangunan Singapura menjadi lebih berkelanjutan. Diawali
dengan dibuatnya masterplan dengan jangka waktu perencanaan 50 tahun, Singapura
merencanakan pondasi arah pembangunan jangka panjang mereka. Sejalan dengan
perencanaan tersebut, berbagai inovasi telah dilakukan Singapura dalam
mengatasi keterbatasan-keterbatasan ditengah perkembangan negara tersebut, misalnya reklamasi untuk
mengatasi kebutuhan lahan, implementasi Electronic
Road Pricing (ERP) di beberapa ruas jalan utama, pembangunan deep tunnel untuk keperluan daur ulang
air, dan fasilitas pembakaran sampah untuk mengatasi masalah persampahan.
Pembicara
selanjutnya Herbert Dreiseitl (Director of the Liveable Cities Lab / Rambøll Founder)
mengemukakan pentingnya mengintegrasikan
Blue-Green
Infrastructure bersama dengan
Social
Infrastructure. Herbert menekankan pentingnya analisis terintegrasi dalam
manajemen kota yang mencakup sudut pandang fisik, sosial dan tata kelola.
Prinsip dalam mengintegrasikan berbagai sudut pandang tersebut adalah
pembangunan skala kecil namun memberikan dampak besar serta melibatkan
aspek-aspek multifungsi. Lebih lanjut, beberapa ruang publik multifungsi
dicontohkan sebagai bentuk implementasi analisis terintegrasi. Diantara
contoh-contoh tersebut adalah bagaimana Bishan Park di Singapura yang memiliki
banyak fungsi di dalamnya terbentuk dari Sungai Kalang yang sebelum 2010
memiliki fungsi utama sebagai sungai. Dengan sentuhan bioengineering sungai
tersebut tidak lagi sekedar sungai, kini Bishan Park memiliki fungsi lain
sebagai tempat bersosialisasi, rekreasi selain juga memiliki fungsi lingkungan.
Rekayasa tersebut merupakan inovasi yang
dilakukan Singapura demi meningkatkan
liveability
dari tempat-tempat publik yang mereka miliki.
Pada
giliran selanjutnya Sonia Kirby dari Griffith University membagi pengalamannya
sebagai planner dalam
memberdayakan
komunitas. Menurut Sonia keterlibatan komunitas dalam menghidupkan sebuah
kawasan amatlah penting, di Brisbane hal tersebut meningkatkan kinerja tata
kelola kawasan yang erat kaitannya dengan komunitas. Contoh mudah yang ia
kemukakan adalah bagaimana membuat lebih banyak orang datang dan beraktivitas
di kawasan CBD ataupun kawasan-kawasan lainnya. Lebih lanjut ia menambahkan
bahwa planner bisa mengambil peranan
dalam memberdayakan komunitas, sehingga nilai ruang bertambah. Prinsip kerja
planner yang menurutnya penting dalam memberdayakan komunitas antara lain Prohibit, Adapt, Embrace dan Promote.
Di sesi ke-2 Alfonso
Martinez Cearra dari Bilbao Metropoli-30 memaparkan Revitalisasi Metropolitan
Bilbao. Bilbao merupakan kota yang terkenal sebagai kota pelabuhan pada tahun
1980-an, lalu perlahan bertransformasi menjadi kota yang lebih maju dan bahkan
mendapatkan penghargaan Lee Kuan Yew
World City Prize pada tahun 2010. Dalam proses revitalisasinya Kota Bilbao
amat mengandalkan pembiayaan pembangunan dengan skema public-private partnership. Revitalisasi Kota Bilbao menekankan
pentingnya pembangunan meeting point, bersifat netral, inovatif dan
berorientasi jangka panjang. Beberapa keberhasilan pembangunan dengan skema public-private partnership dalam upaya
revitalisasi kota meliputi perluasan pelabuhan, penyediaan transportasi tram,
pembangunan museum dan perluasan jaringan kereta metro. Hal yang menarik bagi
anggota Metropoli-30 adalah munculnya nilai-nilai baru pada kawasan yang
dikembangkan berkat adanya inovasi, profesionalisme, penciptaan identitas,
peran komunitas dan keterbukaan. Berkat keberhasilan dalam merevitalisasi
kawasan tersebut, Bilbao kini kian mantap dengan identitas “The City Where Dreams Come True!”
Tak ketinggalan
Bernardus Djonoputro, Ketua IAP Indonesia menyampaikan temuannya tentang Gap dalam perencanaan dan pengembangan
kota di Indonesia. Berbagai tantangan terkait capaian penyediaan infrastruktur
dan kondisi Indonesia yang rentan terhadap bencana dan perubahan iklim
dikemukakan lengkap dengan kebutuhan capaian ideal sesuai kondisi Indonesia
saat ini. Gap yang ditemukan sebisa
mungkin diatasi dengan melibatkan semua pelaku pembangunan. Beberapa pelajaran
yang dalam mengatasi Gap tersebut
antara lain pelibatan komunitas dengan lebih intensif, mempererat hubungan kota
dan wilayah satu dengan lainnya, kebijakan yang memberi dukungan dan insentif
swasta untuk berperan serta dalam pembiayaan infrastruktur, desentralisasi
penyediaan infrastruktur untuk memudahkan kontrol dan pembiayaan, model risk-sharing untuk sektor swasta yang
lebih realistis dalam penyediaan infrasturktur, perlunya dukungan institusi
dalam mendukung public-private
partnership.

Di sesi
terakhir Jan Gehl dari Gehl Architects menutup konferensi dengan paparan yang
konklusif. Paparan dengan judul
Cities
for People mengemukakan bagaimana tuntutan zaman mengubah paradigma
perencanaan mulai dari pandangan modernisme pada 1960 menjadi perencanaan
dengan paradigma
liveable city,
sustainable city dan
healthy city.
Paradigma modernisme dicirikan dengan bangunan-bangunan yang besar, ruang
publik yang luas namun hanya sedikit orang yang menikmati ruang publik
tersebut. Gehl banyak memberikan sentuhan-sentuhannya pada ruang-ruang publik
agar lebih dinikmati oleh masyarakat. Untuk mengubah ruang publik lebih humanis
maka Gehl merumuskan 3 faktor utama dalam mendesain tempat-tempat publik,
Protection, Comfort dan
Enjoyment. Beberapa karya Gehl dalam
mengubah ruang-ruang publik diantaranya adalah di Moscow, Rusia dan Melbourne,
Australia.
Akhirnya dengan
inovasi-inovasi dan praktek perencanaan dalam konferensi ini diharapkan dapat
membangkitkan dan menularkan semangat para perencana di Indonesia bahwa banyak
cara untuk mencapai pembangunan yang lebih baik. Adanya tantangan, tuntutan dan
perubahan paradigma sebisa mungkin sudah mulai diadaptasi oleh para perencana
wilayah dan kota di Indonesia, sehingga masyarakat dapat hidup dengan nyaman di
dalamnya. Hal ini tentu dapat dicapai apabila pemerintah mendukung
inovasi-inovasi dan meningkatkan kinerja tata kelola pembangunan.